Humanity Above Religion?
Sebuah ungkapan retoris yang ampuh bagi orang yang tidak memiliki prinsip dalam kekuatan keyakinannya. Sebuah ungkapan manis bagi orang-orang yang terlihat frustasi dengan agamanya. Dan juga ungkapan pesimis, yang mengundang opini bahwa di atas agama ada yang lebih mulia lagi yaitu kemanusiaan. Sebuah statement yang secara tidak langsung mengajarkan bahwa di dalam agama tidak sepenuhnya terdapat kemanusiaan. Dengan menjalankan agama tidak sepenuhnya memahami kemanusiaan. Dan, agama terpisah dengan kemanunsiaan.
Ketahuilah, tidak ada satu pun ajaran atau pemahaman yang secara mendasar dan sangat mendalam membahas soal hak-hak kemanusiaan melebihi ajaran agama. Yang mengajarkan bahwa mengasihi yang lemah adalah kewajiban, saling menyayangi adalah kemuliaan, dan bahkan sekadar senyuman adalah ibadah.
Agama secara mendasar mengajarkan kasih sayang (kalau tidak percaya silahkan tanya kepada semua penganut agama apapun), bahkan kasih sayang bukan hanya kepada manusia tapi juga hewan dan lingkungan. Pernyataan ini setahu saya hampir tidak ada yang membantah, karena memang benar, yang salah bukan agamanya tetapi perilaku penganutnya. Kalaupun ada kekeliruan atau perbedaan dalam memaknai agama, itu wajar selagi masing-masing yang berselisih dapat bijak menyikapinya (yang sebenarnya hal tersebut pun diwajibkan dalam agama untuk menyikapi dengan bijak semua perbedaan).
Saat seseorang berjalan di atas jembatan yang pondasinya tidak kuat sehingga dia terjatuh, jangan salahkan pondasinya dan berpikiran untuk menghancurkannya. Justru perbaiki dan kuatkan lagi pondasi itu. Sebab kita akan butuh pondasi itu bagaimanapun juga untuk bisa sampai ke sebrang jalan melalui jembatan itu. Dan agama adalah pondasinya, yang menguatkan manusia memahami kebaikan dalam kehidupan yang dianggap sebagai jembatannya.
Dalam berpolitik misalnya, agama pun tidak boleh dipisahkan darinya. Tidak boleh dipisahkan bukan sebagai pakaiannya, namun sebagai pondasi dan prinsip berpikirnya dalam mengambil keputusan. Politik kita rusak ketika membawa-bawa agama(?) Bukan, bukan politik yang dirusak. Politik memang telah dan akan terus coba dirusak, justru agama datang untuk menyelamatkannya. Namun sialnya agama itu dibawa oleh hati yang kotor yang belum tuntas dalam mempelajari agamanya. Sehingga kehadirannya sekadar menjadi pakaian yang membalut indah, bukan ruh yang hinggap di dalamnya. Karena itu pula politik tidak akan membaik, dan agamanya pun malah tercemari.
Jangan menyatakan suatu hal yang sesungguhnya kita sendiri kurang paham akan maknanya. “Kemanusiaan di atas Agama(?)” apabila coba disandingkan maka maknanya serupa dengan ia mengatakan bahwa “Kejujuran itu di atas Kebaikan”. Kegagalan dalam memahami makna; justru kejujuran itu bagian dari kebaikan, bagaimana bisa kita sandingkan. Begitu pun kemanusiaan, yang merupakan bagian besar dari beragama. Menomorduakan ‘agama’ dibanding ‘kemanusiaan’ seolah menomorduakan ‘kebaikan’ dibanding ‘kejujuran’. Gagal Paham.
Hal tersebut tidak akan begitu masalah jika mungkin yang dimaksudkan adalah prioritas; “dalam kebaikan yang paling penting itu kejujuran”, atau “bagian terpenting dalam beragama adalah kemanusiaan”. Hal itu boleh-boleh saja, dan tidak masalah selagi tidak ada paksaan sesuai preferensi orang nya dalam memaknai ‘kejujuran’ dan ‘kemanusiaan’. Sebab bisa saja ada yang berpendapat bahwa yang paling penting dari kebaikan adalah ‘keikhlasan, atau yang paling penting dalam beragama adalah ibadahnya. Tidak ada yang bisa memaksakan hal itu sebab orang-orang berbeda dalam menerima informasinya.
Hal ini saya bahas sebab teori perspektif sosiologi symbolic interaction menjelaskan bahwa tindakan manusia saling diterjemahkan dan didefinisikan, baik dalam interaksinya dengan diri sendiri maupun orang lain. Proses interaksi tersebut terbentuk dengan melibatkan penggunaan simbol-simbol bahasa, ketentuan adat istiadat, agama, pandangan-pandangan, dll. (Ahmadi, 2008).
Sebagaimana konsep interaksi simbolik yang dikemukakan oleh George Herbert Mead, bahwa perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan diri sendiri, perbuatan manusia itu tidak semata-mata sebagai reaksi biologis, melainkan hasil konstruksinya. Sedangkan tindakan bersama berarti aksi kolektif yang lahir dari perbuatan masing-masing individu kemudian dicocokan dan disesuaikan satu sama lain. Inti dari konsep ini adalah penyerasian dan peleburan banyaknya arti, tujuan, pikiran dan sikap (Ahmadi, 2008).
Dengan demikian menjadi sangat penting untuk dibahas apabila simbol agama yang merupakan hak setiap orang dalam mengimaninya mulai disinggung. Opini “Humanity Above Religion” merupakan simbol yang akan sangat mudah diterima masyarakat karena sifat kalimatnya yang liberalis. Hal ini juga berpengaruh terhadap reaksi dan tindakan yang akan diperlihatkan baik secara individu maupun massal.
Ungkapan tersebut akan membuat orang tidak lagi menyandarkan segalanya pada agamanya, tidak lagi begitu respek terhadap agamanya. Memudarkan keyakinan akan Tuhannya. Mengutamakan ‘kebenaran’ di atas ‘kebaikan’. Merasa tidak lagi perlu belajar begitu mendalam soal agama, toh intinya bukan mempelajari agamanya, tapi bagaimana caranya hidup dengan mengerti sesama. Toh percuma aja belajar agama kalau masih suka keributan. Ungkapan tersebut adalah klise dan normatif, karena memang benar. Namun hati-hati, hal tersebut dapat menjadi retorika hebat yang sesungguhnya menutup logika cerdas seseorang dalam memahami agama.
Memangnya sehebat apa akal pikiran kita? kita bisa mendefinisikan kebenaran sesuai logis atau tidaknya — karena ‘kebenaran’ itu memang relatif dan bersifat dialektis. Tapi kita tidak akan bisa mendebatkan ‘kebaikan’ — karena hal itu mutlak, dan yang paling tahu soal kebaikan tidak lain tentunya pesan-pesan Ketuhanan dan norma-normanya, bukan logika. Akan berbahaya jika dibiarkan, orang-orang akan terbiasa menyimbolkan bahwa agama berada di bawah kemanusaiaan.
Padahal, justru karena orang-orang itu tidak sepenuhnya tulus mempelajari agamanya, setengah-setengah dalam memahaminya. Justru karena orang-orang itu tidak sepenuhnya mengamalkan agamanya. Justru karena orang-orang itu menomorduakan agamanya. Dan justru, karena agama tidak lagi begitu penting baginya, saat itu lah pembelajaran agama mulai dikurangi oleh preferensi individunya, pesan-pesan tuhan tidak lagi dihiraukannya, Dan saat itu lah makna filosofis paling mendalam manusia bahwa mereka adalah hamba tidak lagi diindahkannya. Mereka keluar dari koridornya; Menuhankan akal dan pikirannya. Mendefinisikan kebaikan sesuai logikanya. Dan saat itu lah kita kehilangan makna kemanusiaan yang sesungguhnya.
Dan timbul lah kekacauan yang selalu dikahawatirkan itu: “Hilangnya Kemanusiaan dari muka bumi karena semua orang sudah Menuhankan Dirinya Sendiri”.
Yang sebenarnya ingin disampaikan bukan tentang kemanusiaannya, tapi doktrin yang diam-diam menyuruh kita jauh dari agama. Walaupun mungkin jawaban itu tidak akan kita dapatkan dari yang menggunakan ungkapan tersebut. Tapi itu lah maknanya yang tersirat, melalui penjelasan sosiologisnya.
Sebab kenapa harus agama yang disandingkannya?! kenapa harus agama yang disebut di bawahnya?! dijawab, “itu kan salah satu aja”. Lalu kenapa tidak kalian bilang dan gaungkan “Humanity Above Nationalism”, “Humanity Above Liberalism”, and “Humanity Above Freedom”. Sebab imperialisme dilakukan untuk kepentingan suatu bangsa, perlakuan amoral menjadi haknya dunia liberal, dan berbagai bentuk pelecehan menjadi pemuas nafsu liar buahnya kebebasan. Cermati ini!!
Sekian saja, semoga bisa dimaknai. Tulisan ini sekadar pandangan dari hasil renungan, semoga dapat dipahami agar sanggup diindahkan. Semoga ‘Kebenaran’ selalu mengisi pikiran kita dan ‘Kebaikan’ selalu menghiasi hati kita.
Wassalaamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakaatuh.
Buah pikiran,
Wahyu Gede Sadewo
Pustaka:
Ahmadi, Dedi. 2008. Interaksi Simbol: Suatu Pengantar. Jurnal Komunikasi. Vol. 9(2).
Gambar:
Humanity: http://quoteideas.com/humanity-quotes/
Politics and Religion: http://2.bp.blogspot.com/-lznfFlNmXts/VSKoTgQ8oHI/AAAAAAAACxM/j_uny_QN2NE/s1600/religion_politics_paints.gif
Proses Interaksi dalam Masyarakat (Charon, 1976): Ahmadi, Dedi. 2008. Interaksi Simbol: Suatu Pengantar. Jurnal Komunikasi. Vol. 9(2).